Selasa, 04 Agustus 2009

Di bawah langit Sabuga

dibawah langit sabuga yang ungu aku menghayati suaramu
sebuah lagu yang menyeretku pada kesunyian lagi,
apakah ini sayang; kematian terasa semakin dekat, terus berbisik
merayap dalam gelombang udara,

diantara hentakan drum dan kilau lampu ragaku membeku
sebentar ingin melupakan dunia yang terperangkap benang kusut
membebaskan diri dari kemacetan, dari terik bumi yang membakar
ingin melarikan diri dari kenyataan bahwa hidup adalah pana,
walaupun berulang kali aku terbunuh dan bangkit kembali dari kematian
utami, ada dan tiada adalah relitas takdir dan jiwa yang gelisah
terus dibayangi jarak-waktu yang tak pasti,
seperti kau yang berdiri anggun diantara gemerlap lampu dan tepuk tangan
sedang tanganku ini menggapai-gapai, mencari celah untuk membebaskan
diri dari jarak-waktu dan meraih jiwamu di cakrawala,
ah teramat sunyi sayang, puisi tak bisa memberikan apa-apa, selain
keasingan atau air mata, mungkin hanya menjadi teman dalam kamar hampamu
disaat tak ada dansa, pesta dan tumpukan pekerjaan

dibawah langit sabuga yang ungu aku mendengar suara itu;
seperti maut yang terus berbisik diantara hingar-bingar hentakan drum, ah kamu
yang datang dengan isarat yang tak bisa kumengerti,
apakah ini sayang, aku termangu dan jiwaku seperti dituntun kedalam lorong
yang tak berujung; aku ingin berumah dalam kamar hatimu yang sunyi
menulis puisi dan menyusuri dinding malam, memburu bayang purnama yang senyap
dipenghujung subuh,
aku ingin kau menari atau berdansa di ranjang waktuku; bergumul dan memutar haluan,
membiarkan tubuh ini telanjang hingga sebuah jiwa datang kembali dari pelayarannya,
aku tahu kata-kata tak bisa membunuh sepi, tak bisa memaksa agar kau membuka pintu,
tak bisa merayu perempuan bernama utami, takbisatakbisatakbisa tapi
aku ingin hadir sebagai cahaya dikegelapan, aku ingin menjadi teman sepimu,
aku ingin tidur diranjang mimpimu, aku ingin menjadi titik api yang membakar
bila aku mati dan tiada; sungguh kekal dalam dekapanmu!

Juni, 2009