Selasa, 29 September 2009

Menunggu Juru Selamat Bagi Partai Golkar

Golkar Yang Ditinggalkan

Rumah megah Golkar yang diwariskan Orde Baru umurnya akan segera habis, keadaannya seperti diujung tanduk. Golkar menunggu juru selamat dan malaikat penolong itu sedang dinantikan kedatangannya. Selama 32 tahun berkuasa Golkar sudah sangat lihai menghadapi badai ujian, baik menghadapi konflik internal juga menghadapi ancaman dari lawan politik. Ujian terberat Golkar adalah pasca tumbangnya Rezim Soeharto oleh gerakan repormasi, tapi Golkar beruntung punya seorang Akbar Tanjung yang waktu itu berdiri tegak menantang badai ditengah tuntutan pembubaran Partai Golkar, dengan babak-belur Akbar Tanjung menunjukan kelihaiannya sebagai seorang politisi. Walaupun Golkar kalah di pemilu 1999 tapi berhasil mengantarkan Akbar Tanjung menjadi Ketua DPR RI, ditangan Akbar Tanjung Golkar berhasil mencuci dosa dan berubah menjadi Golkar baru yang berteriak-teriak repormasi. Itulah Golkar yang berpengalaman mengenyam asam-garam kekuasaan, pada pemilu 2004 Golkar kembali memenangkan pemilu dan nasib baik Golkar itu tidak berbanding lurus berpihak kepada Akbar Tanjung, jalan rumit Akbar Tanjung dari dakwaan pengadilan bisa dihindarkan tapi dia terpental di Konvensi Partai Golkar dalam pencalonan presiden, Akbar disisihkan Jenderal Wiranto yang maju berpasangan dengan Solahudin Wahid. Akbar semakin terpuruk ketika dia kalah dalam persaingan perebutan Ketua Umum Golkar yang berhasil diambil alih oleh HM. Jusuf Kalla yang waktu itu sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia berpasangan dengan SBY, Akbar pun hilang dari peredaran dan dalam pertapaannya dia meraih gelar doktoralnya. Dengan desertasi yang mengkritisi keterlibatan saudagar dalam pencaturan politik. Tapi Golkar masih tetap berdiri tegak sebagai penguasa walaupun Capres dari Golkar kalah telak diputaran pertama. Dan juru selamat itu adalah HM. Jusuf Kalla yang mengambil alih kepemimpinan Golkar, sebagai Wakil Presiden JK punya andil besar mengantarkan Kabinet SBY pada kesuksesan dan menempatkan orang-orang Golkar pada posisi strategis, walaupun partai yang dipimpinnya terpuruk dalam pemilu 2009. JK meraih kecaman dari tokoh-tokoh Golkar dan kepemimpinan JK pun dihantui Munaslub tetapi JK masih tetap tegar bahkan dia selalu bertindak lebih cepat seperti sloganya “Lebih cepat lebih baik.” Akhirnya pasangan harmonis ini pun pecah, SBY pindah ke lain hati dan JK baikan dengan kawan lamanya Jenderal Wiranto dan pada pemilu 2009 keduanya sepakat menjadi pasangan capres yang diusung Partai Golkar dan Partai Hati Nurani Rakyat yang sebenarnya dua anak sungai yang berasal dari sungai yang sama dan bermuara dalam kekalahan. JK pun dengan gayanya yang santai, humoris dan ceplas-ceplos berencana pulang kampong dan mengurusi pendidikan di daerahnya. Sepertinya kekalahan itu baginya bukan sebuah beban, JK sangat dewasa dan bijak akhir-akhir ini, dia konsisten dengan tugasnya sebagai Wapres SBY dan menyelesaikan sisa jabatannya hingga akhir September 2009. Tapi JK bukan berarti lepas dari tanggung jawab dihadapannya Munaslub VIII Golkar menunggu dan meminta pertanggung jawabannya. Siapakah sang juru selamat bagi Golkar itu? Kepada siapakah Jusuf Kalla mewariskan kepemimpinannya?
Yang pasti Partai Golkar punya banyak stock kader, baik yang muda maupun yang tua untuk memimpin estapeta kejayaan Golkar, yang sebenarnya Golkar berada diujung kehancuran. Peralihan sistim politik dan pergantian rezim kekuasaan di republic ini tidak mudah untuk merebut kekuasaan, perlu keajaiban dan momentum yang tepat. Munculnya Partai Demokrat yang didirikan oleh SBY cukup memberikan nuansa baru dan menjadi harapan perubahan, walaupun yang sebenarnya terjadi hanya semu belaka. Tetapi Partai Demokrat tetap sebagai musuh politik yang nyata bagi Golkar, secara riil Golkar ditingglkan rakyat karena ada Partai Demokrat, dan Golkar benar-benar akan ditinggalkan kalau tidak melakukan pembaharuan secara mendasar. Golkar yang mayoritas didukung oleh golongan tua, sedang golongan tuanya juga sudah tergantikan oleh golongan tua masa kini. Artinya golongan tua pendukung setia Golkar sudah pada meninggal dunia digantikan golongan tua yang tidak resfek terhadap Golkar. Maka jangan pernah berharap Golkar mendapat dukungan lagi dari rakyat.
Munas VIII Partai Golkar pada bulan Oktober di Pekanbaru Riau adalah momentum strategis untuk mengevaluasi dan menentukan langkah Golkar ke depan dan nasib baik itu tergantung siapa yang berhasil mengambil alih kepemimpinan Partai Golkar.
Kasak-kusuk, dukung-mendukung, claim-mengclaim, menjelang Munas VIII Partai Golkar adalah dinamika yang sudah biasa terjadi di partai manapun, tetapi rakyatlah yang pada akhirnya yang akan memberikan penilaian kepada partai. Saya hanya menyarakan kepada kaum elit tokoh-tokoh Golkar agar peka terhadap kondisi social masyarakat saat ini, karena salah memasangkan pigur sama halnya dengan mencoreng muka sendiri.
Ada banyak strategi agar Golkar bisa diselamatkan. Pertama proses Munas VIII di Pekanbaru harus berjalan secara sportive, memberikan ruang seluas-luasnya bagi setiap kader terbaik Golkar, dengan mengedepankan idealisme bukan pragmatisme untuk kepentingan sesaat, artinya posisi kursi ketua umum tidak dibeli oleh uang dengan membagikan uang secara berlebihan kepada tiap DPD. Kedua proses Munas adalah upaya membangun visi partai, untuk menyelamatkan partai, bukan sekedar kepentingan kelompok, kubu-isme, juga kepentingan faksi yang haus kekuasaan. Ketiga, Golkar harus mengusung kepemimpinan yang bersih baik dari dosa masa lalu atau pun kepemimpinan yang bermasalah dan melukai rakyat. Keempat, Golkar harus mengangkat seorang pemimpin yang berkepribadian, popular dan mewakili selera rakyat Indonesia. Sebenarnya point yang keempat ini sangat sederhana rakyat Indonesia perlu pigur pemimpin yang bersih, santun, muda, ganteng, idealis dan punya visi untuk memajukan partai dan Negara.
Mengapa tidak, budaya mengangkat seorang pemimpin karena uangnya banyak sudah tidak relevan lagi, kalau Golkar tetap seperti itu jangan berharap 2014 Golkar memenangkan pemilu, dan saya yakin rakyat akan meninggalkan Partai Golkar. Semalat bermusyawarah tuan-tuan, rakyat tahu yang terbaik bagi dirinya!!

Swiss Van Java, September 2009

Kado Ulang Tahun SBY

REZIM SBY TAK AKAN MEMBAWA PERBAIKAN
DAN PERUBAHAN ITU HANYA SEMU, FIKTIF BELAKA

Bulan oktober 2009 secara hukum pasangan presiden terpilih Dr.H.Susilo Bambang Yudoyono dan Budiono akan segera dilantik sesuai agenda KPU sebagai presiden Republik Indonesia untuk kedua kalinya, tentu segenap rakyat Indonesia menantikan gebrakan baru (surprise) dari pasangan presiden yang meraih mandate 61 % suara dari rakyat. Ada yang beda dari SBY saat kampanye pilpres pertama dan yang kedua, kampanye pertama SBY banyak mengumbar janji dengan kata-katanya “Saya akan..”dan “Bersama kita bisa…” tapi pada kampanye pilpres yang kedua kalinya, SBY secara diplomatis bicara dengan cukup bijak “saya tidak akan banyak janji karena waktu lima tahun tidak cukup untuk melaksanakan program-program saya, berilah waktu insyaAllah amanat yang berat ini akan kita laksanakan secara bersama-sama,” kurang-lebih seperti itu dari pidato-pidato SBY yang dapat saya tangkap, sambil diseling iklan dari sabang sampai meuroke yang diplesetkan dari iklan indomie, “Indomie seleraku..” jadi “SBY presidenku…” mengapa perubahan itu hanya semu dan piktif belaka? Mudah-mudahan ini bukan doa dan bukan juga analisis empiris dari seorang profesor, melainkan hanya prasangka “syu’udzan” saya yang tidak terakomodir menjadi menteri di Kabinet Baru SBY. Oleh sebab itu saya tidak perlu membahas secara ilmiah tapi sekenanya saja seperti mulutnya juru bicara kepresidenan. Sebagaimana diramalkan oleh para pengamat dan analis politik yang asli bahwa kabinet di pemerintahan SBY tidak akan jauh berbeda dengan kabinet sebelumnya yaitu merupakan representasi dari partai pendukung dan kelompok professional yang termasuk kroninya. Yang bukan kroninya tidak ambil bagian, maka bagi yang suka mengkritik SBY jangan pernah berharap diangkat jadi menteri, memang rumusnya sudah begitu.
SBY yang dibecking parlemen cukup kuat, dia lebih percaya diri, apa lagi suara democrat sangat signifikan sehingga tanpa partai pendukung (koalisi) SBY tetap dia akan melenggang ke istana, nyaris partai pendukung hanya sebagai penggembira. Bisa dilihat bagaimana ngototnya pimpinan partai yang tidak diajak bicara soal penentuan capres, walaupun akhirnya mereka luluh juga. Saya tidak tahu bagaimana sikap mereka nanti jika tidak terakomodir dalam kabinet, apakah mereka tetap akan bersabar, kita tunggu saja apa yang akan terjadi. Mungkin nasibnya tidak jauh beda dari Mas Yusril Ihza Mahendra, Alwi Shihab, dan Hammid Awwaludin, yang sejak pertama menjadi pendukung setia dan ditengah perjalanan diturunkan dan ditinggalkan. Menyedihkan memang tapi itu sudah konsekwensi politik harus menerima menjadi korban seorang raja, tidak tahu apakah mereka dapat pesangon nggak ya..?
Bagi anda yang objektif dan pendukung panatik SBY wajib marah ketika membaca tulisan ini, anggap ini fitnah dan pencemaran nama baik presiden, segeralah laporkan ke polisi dan tangkap saya. Apa yang musti diedit dari SBY, tidak ada, nyaris kinerja SBY sangat sempurna. Dia pekerja keras, bertanggung jawab, taat beribadah, santun, cerdas dan intelek, tidak korup. Terbukti dia dapat menyelesaikan problem kebangsaan dari mulai perdamaian di Nangroe Atjeh Darussalam, rehabilitasi pasca tsunami di Atjeh, pemberantasan korupsi, kenaikan gajih bagi PNS, Bantuan Tunai Langsung (BLT) pembagian Gas Elpiji gratis, dana pendidikan dan banyak lagi program SBY yang sangat sukses, maka kalau prasangka saya itu salah pantaslah saya dikutuk oleh SBY dan kroninya. Kalau saya diberi tawaran (pilihan) mau dikutuk jadi apa? Tentu saya tidak memilih jadi batu tapi saya akan memilih minta jadi konseptor penulis naskah pidato SBY atau juru bicara presiden, insyaAllah saya akan menulis atau bicara dengan sejujur-jujurnya, tidak asal babe senang.
Kemenangan SBY cukup monumental dan spektakuler dialam demokrasi versi Indonesia, dia sangat mudah melenggang ke istana, tanpa hambatan sedikit pun, terbukti dia berhasil menyisihkan rivalnya sejak pilpres pertama. Apa lagi pilpres yang kedua tanpa kampanye pun SBY akan menang, begitulah coletahan saya pada saat itu. Mengapa SBY menang? Ini bukan keberuntungan tapi takdir dan nasib baik berpihak kepadanya, rakyat Indonesia sangat cerdas juga sangat pragmatis. Terbukti Partai Demokrat menjadi sangat popular dan memenangkan pemilu 2009. Itulah rakyat Indonesia yang tahu berterima kasih, walaupun ada partai yang cukup lama aktif melakukan aksi social di masyarakat, baik disebuah kampong atau desa, partai ini sangat rajin baksos, kalau ada bencana partai ini lebih dulu hadir, bahkan katanya partai ini bisa dibilang bersih. Tapi sayang partai ini bukan selera rakyat Indonesia, maka pantaslah air susu dibalas air tuba, tapi partai yang tidak pernah berbuat apa-apa bahkan datang secara tiba-tiba, dengan mengagetkan menjadi pemenang pemilu, siapa yang aneh ya..rakyat atau saya?
SBY memang selera rakyat Indonesia seperti Indomie, dia memiliki karakter (kultur) kejawa-an, sangat santun, jaga wibawa, tidak banyak bicara, juga ganteng (kata kaum Hawa) dia mewarisi aura mantan Presiden Soeharto, kalem dan laer aisan (penuh pertimbangan) tidak getasarupateun. SBY Indonesia banget githu loh, maka rakyat Indonesia dijamin tidak akan kecewa, kebijakan apapun yang dilakukan SBY dan saya ingatkan kepada elit partai sekejam apapun kritik anda terhadap SBY tidak akan mempan, dia terlanjur dicintai oleh kaum Hawa.
Mengapa SBY menurut saya tidak akan membawa perbaikan, dan perubahan yang dijanjikan itu semu, fiktif belaka?
Pertama SBY seorang reaksioner, saya tidak bilang dia tidak visioner. Kebijakan-kebijakan SBY merupakan reaksi terhadap problem social dan problem kebangsaan yang instans. Diawal pemerintahan SBY diuji oleh tragedy sunami di Atjeh, SBY sangat cepat mengatasi dan sukses mengembalikan Atjeh, yang sebenarnya ini adalah keberuntungan bagi SBY untuk menutupi kelemahannya, diawal pemerintahannya saya melihat SBY cukup nervous, tidak tahu karena memang baru kally ya…jadi presiden atau dia tidak enak dengan rival yang kalah seperti Amien Rais yang super vocal dalam mengkritik, yang jelas SBY tidak cukup comvident karena suara partainya cukup kecil.
Dan masa akhir jabatannya sebagai Presiden, juga awal masa jabatannya sebagai Presiden untuk kedua kalinya, SBY sangat power full, percaya diri dan mulai tegas dalam bersikap dan mengambil kebijakan, dan tetap SBY seorang reaksioner bisa dilihat dalam penanganan kasus terorisme, SBY mirip dengan Soeharto secara diam-diam memata-matai kegiatan ceramah para ustadz dan Kiai di pengajian-pengajian. Apa ini namanya? Pemerintah sudah menaruh curiga yang berlebihan dan mengontrol rakyat dengan tidak etis. Apa prestasi SBY yang sesungguhnya, tidak ada prestasi yang signifikan selain menyisakan masalah baru, dan rusaknya budaya keindonesiaan. Kemiskinan dan ketidak adilan terjadi sampai ke pelosok terpencil, SBY boleh berkilah “Presiden juga manusia…” Siapa pun Presidennya tidak seorang pun akan mampu membawa perubahan bagi Indonesia, tapi mengapa dalam kampanye menjanjikan perubahan kalau memang tidak mampu? SBY telah bekerja keras siang-malam, ya…memang kewajiban SBY sebagai Presiden, tidak perlu itung-itungan jasa suruh siapa mau jadi Presiden, kalau masih mengeluh dan berapologi ya berhentilah jadi Presiden.
Kedua SBY dipilih secara instant, pemilihan langsung yang melibatkan rakyat secara langsung juga cukup riskan dengan kebohongan public. Sosok seorang pemimpin dipilih seperti memilih Miss Univers, Putri Indonesia, Indonesia Idol atau KDI yang penuh polesan, sehingga rakyat yang selera dan pemikirannya cukup tertinggal sangat mudah untuk digiring pada sebuah opini yang menyesatkan. Politik pencitraan yang selama ini lagi booming dijalankan oleh para elit politik cukup jitu untuk meraih kekuasaan. Mengapa SBY terkesan dipilih secara instant? Padahal SBY cukup berpengalaman di Pemerintahan, selain mantan Jenderal juga SBY pernah terlibat di Kabinet Presiden Abdurahman Wahid dan di Kabinet Presiden Megawati Soekarno Puteri, ini bekal yang sangat cukup, kalau begitu saya hanya mengada-ada saja. Terserah anda, dan saya mengatakan begitu. Rakyat Indonesia punya selera tersendiri soal presidennya dan ini yang dinamakan instant itu, rakyat hanya dikelabui model iklan yang penuh pencitraan, tidak melihat isi tapi kemasannya. Dan ini syah di Negara yang sedang dimabuk demokrasi.
Ketiga yang menjadikan SBY tidak akan membawa perbaikan dan perubahan yang berarti bagi bangsa Indonesia dikarenakan SBY berada ditangan mafiaCeli. Sekelompok orang yang telah berjasa membangun pencitraan bagi SBY, mirip seperti produser yang bekerja secara professional yang tidak pernah berfikir apakah calon presiden itu bisa membawa perubahan atau tidak, tetapi berfikir apakah seorang calon presiden itu bisa dijual kepada rakyat atau tidak. Layaknya mafia di Negara lain, mereka tidak pernah berpikir siapa yang berkuasa, siapa pun yang berkuasa mereka tidak mau perduli, tapi bagaimana mereka turut berperan dan ambil bagian dalam mengendalikan kekuasaan. SBY terlanjur berhutang budi dan ketergantungan itu bagaimana pun tidak bisa dihindarkan. Demikian sekelompok mafia yang oportunis itu, bisa merapat kepada siapa saja, kepada birokrat dan kepada konglomerat. Begitulah siapa pun presidennya sekelompok orang ini adalah guritanya yang menguras uang Negara.
Tiga alasan ini tidak cukup untuk menjustifikasi kegagalan SBY, tidak perduli kebijakan ekenomi apa yang akan dilakukan SBY, mau Liberal kek atau kerakyatan sekali pun selama yang ketiga point itu lekat dalam kekuasaan SBY, saya yakin SBY tidak akan bisa berbuat apa-apa. Semoga prasangka ini tidak benar!!

Swiss Van Java, 9 September 2009

Puasa dan Mobilisasi Ekonomi

Bulan ramadhan bukan saja sebagai kawah candradimuka spiritual, yaitu bulan yang penuh berkah, maghfirah dan ampunan. Setiap amal perbuatan diganjar beberapa kali lipat ganjaran, bahkan tidur sekalipun bagi yang melaksanakan puasa akan diberi ganjaran. Bulan yang sangat istimewa karena mujizat terbesar bagi Nabi Muhammad SAW adalah turunnya Al-Quran di malam 17 Ramadhan.
Ramadhan adalah bulan pertemuan dua ruang spiritual dan material, pertemuan budaya dan syari’ah, walaupun pada akhirnya dua ruang itu tidak terisi dengan seimbang, menjadi ironis dan menjadi serba formalitas. Kekhusuan bulan ramadhan yang seyogyanya menjadi ruang kontemplasi, bermuhasabah dan bertaubat, realitas yang sesungguhnya memang jauh dari tuntunan syar’i. walaupun demikian tetap ramadhan telah memberikan segalanya, baik dimensi ruhani maupun dimensi duniawi, yang merupakan kemaha kerenan gusti Allah yang telah memerintahkan berpuasa sebulan lamanya kepada manusia yang beriman.
Banyak rahasia dan hikmah yang terlupakan, lupa berterima kasih, lupa bersyukur dan lupa bahwa Allah punya rencana lain sebalik setiap segala perintahnya.
Apa hubungannya puasa dengan tumbuh kembangnya perekonomian? Secara factual memang tidak bisa disangkal, ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, termasuk hidupnya pasar dan perdagangan. Menjelang bulan ramadhan harga-harga sudah terbiasa naik dan tetap konsumen berdesakan untuk belanja. Begitu juga menjelang ‘idul fitri atau lebaran semua berpacu membeli baju baru dan semua kebutuhan untuk merayakan hari raya, budaya seperti ini terus berulang menjadi rutinitas. Terlahirlah budaya dan pernak-perniknya, semacam bukber (buka bersama) semua instansi baik swasta mapun pemerintah berlomba melakukan buka bersama. Jalanan jadi lebih macet lagi karena semua orang turun ke jalan untuk ngabuburit, tradisi mudik juga menjadi problem social yang tidak terpecahkan oleh pemerintah, kemacetan arus mudik dan arus balik sudah menjadi pemandangan biasa. Ramadhan menjadi alasan bagi lembaga Negara untuk mengkorup uang rakyat secara berjama’ah, Anggota Dewan meminta jatah tambahan, Bupati membagi-bagi THR yang memang bukan uang miliknya tapi uang milik Negara juga milik rakyat.
Tak kalah tragisnya, saking penuh berkahnya ramadhan juga memberi penghasilan yang cukup bagi para pengemis yang jumlahnya sering bertambah di bulan ramadhan, bulan beramal ini cukup jitu untuk memaksa orang-orang bersedekah, begitulah cara tuhan mengajarkan kasih-sayang, saling mencintai antar sesama. Kaum du’afa mendapat perhatian lebih baik, rumah-rumah yatim banyak yang mengunjungi, ramadhan memberi keberkahan bagi mereka yang pada bulan yang lainnya sering terlupakan.
Rahasia bulan ramadhan inilah yang menawarkan dimensi spiritual dan social, kebutuhan setiap orang meningkat dan secara budaya dipaksa untuk menjadi masyarakat konsumeristik, kebutuhan pemenuhan makanan didahulukan, minimal lauk-pauk harus selalu ada tentu bagi yang tidak punya penghasilan cukup pun akan memaksakan. Di tengah fenomena yang memprihatinkan, segala ironisme dan kemunafikan mengotori kekhusuan beribadah, semoga tidak mengurangi keberkahan yang diberikan Allah SWT bagi ummat manusia. Semoga!!


Swiss Van Java 17 Ramadhan 1430 H

Kemerdekaan Untuk Siapa

Memaknai kemerdekaan

Kemerdekaan pada hakikatnya adalah tegaknya hak bagi setiap individu baik secara eksistensi maupun secara ruhani yang sifatnya sangat prinsifil. Memaknai kemerdekaan tentu tidak rigid, akan selalu mengikuti perubahan zaman, misalnya kemerdekaan bagi rakyat Indonesia pada mulanya adalah terbebasnya bangsa-negara dari kungkungan kolonialis-imperialisme penjajahan yang dilakukan Belanda-Jepang-Portugis-Inggris dan lain-lain. Kita akan dihadapkan pada kilas-balik sejarah yang tragis dan menyakitkan, bagaimana hak-hak sebagai warga pribumi dikekang (dimusnahkan) tanpa perikemanusiaan, selama hampir 350 tahun oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang, artinya bahwa memaknai sebuah kemerdekaan adalah bagaimana membebaskan bangsa ini dari penjajahan. Menjadi bangsa jajahan memang tidak ada istilah enak atau tidak enak, semuanya berjalan dengan penuh keterpaksaan, pengawasan dan penindasan, maka seiring perputaran zaman akhirnya celah untuk menciptakan kemerdekaan terbuka lebar, Perang Dunia kedua memberi keberuntungan bagi bangsa-bangsa jajahan untuk mengangkat senjata, setelah Belanda mengalami kerugian dan kekalahan perang, juga pengeboman dua kota Hiroshima dan Nagashaki oleh sekutu membuat perputaran arah sejarah dunia berputar dengan cepat. Jepang menyerah tanpa syarat sedang di Indonesia terjadi kekosongan kekuasaan, yang pada akhirnya ending dari revolusi rakyat itu adalah peristiwa Proklamasi Republik Indonesia yang dibacakan oleh Soekarno dan ditandatangi oleh Soekarno-Hatta. Demikianlah kemerdekaan itu bukan hadiah dari para penjajah melainkan ditebus oleh darah dan nyawa, selama bertahun-tahun para mujahid berada di garis depan perlawanan, mereka semua syahid dan menjadi pahlawan bagi bangsanya, bagi keluarganya dan bagi generasi hari esok.
Dan seiring perubahan zaman suara-suara heroic revolusi nasional itu perlahan senyap, tinggal sayup-sayup suara yang timbul-tenggelam ditengah gemuruh zaman yang terus berlari berebut garis finish, makna kemerdekaan pun perlahan luntur dan tergantikan oleh Suasana zaman yang berubah tetapi kemerdekaan yang sesungguhnya itu maknanya jadi kabur dan terlampau absurd, tak ada lagi suasana hening doa yang khusu dengan air mata yang membasahi kelopak matanya. Doa yang sungguh-sungguh terlahir dari luka dan penderitaan segenap bangsa, semua itu sudah tak ada lagi dan perlahan kita telah melupakannya, melupakan mereka yang terbunuh di medan perang, melupakan mereka yang kehilangan kaki atau tangannya karena ingin meraih kemerdekaan, kita juga diam-diam melupakan para peteran yang telah renta, padahal mereka sangat heroic membela kemerdekaan. Apa yang sebenarnya terjadi adalah kesalahan memaknai kemerdekaan, kita melupakan esensi makna kemerdekaan yang sesungguhnya, sehingga mensikapi kemerdekaan hanya sebatas uporia, hura-hura dalam rutinitas yang hanya sekedar formalitas belaka. Dan apa arti kemerdekaan di zaman merdeka saat ini, rezim kekuasaan datang dan pergi silih berganti, tapi ketidak adilan dan ketimpangan social semakin lebar menganga, apa yang diwariskan rezim penguasa selain kehancuran system social dan system budaya. Yang terlahir adalah penjajahan baru, raja-raja kecil yang merampas hak-hak rakyat, makna kemerdekaan di zaman yang merdeka ini adalah bagaimana membebaskan rakyat dari kejahatan para pemimpin dan penguasa yang lalim, karena memperingati kemerdekaan bukan sekedar balap karung, panjat pinang atau mengibarkan bendera merah-putih sepanjang jalan, pada tiap pintu gang dan upacara disetiap tingkat pemerintahan. Sedang kemerdekaan yang sesungguhnya telah digadaikan dan dirampas oleh kaum imperialisme baru yang berwujud raksasa kapitalisme global, Amerika dan sekutunya. Kemanakah kemerdekaan itu? Milik siapa kemerdekaan itu? Karena nyaris bangsa ini sudah kehilangan kemerdekaan dan kemandirian, semua sudah berkiblat dan sujud di kaki kapitalisme asing. Inikah makna kemerdekaan yang kita banggakan?
Wallahu’alam bishawab, salam revolusi!!!

Sembahyang Rumputan "Amhadun Yosi Herfanda"

MA’RIFAT, HUMANISME, PUISI DAN PUASA
DALAM “SEMBAHYANG RUMPUTAN”
AHMADUN YOSI HERFANDA//...

Puncak karya tertinggi dalam kehidupan ini semuanya bermuara pada tuhan, pada wujud ke manunggal-an gusti, juga dalam puisi terkristalisasi dalam bentuk penyerahan diri pada yang kuasa sanghyang dwiwasa. Sepanjang sejarah kepenyairan memang begitu, kita mendapatkan titik puncak pada diri penyair dalam karya-karyanya yaitu ketika nama tuhan atau sang maha takdir tak bisa lagi terhindar dari eksistensi dirinya.
Saya terkesan dengan antologi puisi “Sembahyang Rumputan,” milik Ahmadun Yosi Herfanda setelah beberapa kali membacanya. Walaupun cukup lama saya sering mendengar namanya disebutkan dan puisi-puisinya sering dibacakan dalam lomba-lomba baca puisi, tentu baru kali ini mendapatkan kumpulan puisi yang utuh dalam bentuk buku dwi bahasa Indonesia-Inggris. Buku ini bukan saja sekedar percikan cahaya dikegelapan atau setitik air dipadang tandus kehidupan, bukan juga suara lirih yang terselip dalam gemuruh pesta demokrasi tetapi bagi saya sembahyang rumputan adalah wahyu yang luput dalam kemegahan liberalisasi ekonomi, krisis global dan krisis moral. Sehingga pada kesempatan ini saya menyimpulkan dan menarik benang makna ma’rifat, humanisme, puisi dan puasa dalam “Sembahyang Rumputan,” karya seorang penyair adiluhung Ahmadun Yosi Herfanda yang tak sempat kujabat tangannya. Saya cukup tersentak setelah menemukan beberapa sajak yang sangat kritis tetapi cukup santun dalam mengkritik kondisi sosio-politik yang bokbrok dan tidak bermoral, ada juga sajak-sajak yang memihak kaum mustad’afin dan mengingat hal terkecil yang memang sering terlupakan. Ini membuktikan bahwa makna religiusitas tidak melulu bergumul dengan nama tuhan tetapi hubungan secara vertical dengan tuhan musti teraktualisasi dalam kehidupan secara horizontal antar sesama makhluk yang diciptakan.
Ma’rifat, istilah yang tidak asing dalam ajaran agama Islam terutama dalam wilayah tasauf. Bagi para ahli sufi ma’rifat merupakan tangga tertinggi sebagai proses memasuki pintu gerbang ketuhanan yang aktualisasinya secara verbal sering diwujudkan dalam bentuk tarian atau kata-kata, sehingga para tokoh sufi erat kaitannya dengan syair-syair yang diungkapkan sebagai ungkapan rasa cinta terhadap tuhannya. Inilah Ahmadun Yosi Herfanda (AYH) setiap orang tahu dia adalah salah satu penyair religius atau sufistik sebagaimana pengakuannya, “sajak SR – (maksudnya sajak rumputan) sebuah sajak yang sebenarnya juga dapat dianggap sebagai ‘tonggak religiusitas’ kepenyairan saya. Sajak tersebut menjadi semacam main set proses kreatif, landasan spiritual sekaligus orientasi kepenyairan saya. Dengan kata lain, sajak SR menjadi semacam manifestasi dari ke-abdillah-an sekaligus ke-khalifahan saya sebagai manusia ciptaan Allah SWT. Sehingga, dengan demikian, kegiatan menulis sajak bagi saya adalah kegiatan dari ibadah kepada Tuhan Semesta Alam.” Dan terbukti pengakuannya itu dijalankannya dengan istiqomah dalam karya-karya yang terlahir dari visi pemikiran-pemikirannya. Seperti tergambar dalam penggalan sajaknya : o, Allah, anugerahi aku kesetiaan/ tanganku menjadi tanganmu/ kakiku menjadi kakimu/ lidahku menjadi lidahmu/ mataku menjadi matamu/ telingaku menjadi telingamu/ hatiku menjadi istanamu: bumi dan langit tak mengandungku tapi hamba berimanku mengandungku.* (*dikutif dari hadist kudsi) dari puisi Doa Pembuka; Sembahyang Rumputan.
Dan betapa banyak-melimpah puisi-puisi AYH sebagai refresentasi ketuhanannya. Tak ubahnya seorang sufi yang tak lelahnya memuji tuhan dan mencari kesejatian diri yang mengarungi cakrawala spiritual dan melayari samudra makna : dengan sayap elang, aku mengembara/ melintas hutan dan laut berkarang/ dengan aji antareja aku amblas bumi/ mencungkil hatinya dan sumber api/ dengan sirip ikan aku menyelam dalam/ menjaring remik-remik kehidupan/ namun selalu padamu/ langkahku kembali tersampai…(Dalam Pengembaraan Kelabu). Inilah makna ma’rifat yang saya maksudkan yaitu kesadaran pada diri bahwa setiap nafas tidak akan terbebas dari kuasa tuhan dan penyair telah menemukan ma’rifatnya dan istiqomah berpegang teguh pada keyakinan dan pengetahuannya. Seperti metaphor-metafor yang sering ditemukan dalam sajak-sajaknya : walau kau tebang aku/ akan tumbuh sebagai rumput baru/ walau kau bakar daun-daunku/ akan bersemi melebihi dulu/ aku rumputan/ kekasih tuhan/ di kota-kota disingkirkan/ alam memeliharaku subur di hutan-hutan…(Sembahyang Rumputan). Juga kesejatian sebagai makhluk dia ungkapkan : di kota-kota padat beton dan baja/ aku jadi penghuni tak berharga/ tapi dengarlah kecipak ikan-ikan/ ketika tubuh kurelakan/ lumat jadi santapan…(Zikir Seekor Cacing). Inilah hakikat makhluk yang penyair insafi dan tak pernah lelah mengingatkan pada kita semua tentang hal kecil yang sering terlupakan, padahal didalamnya tersimpan hakikat kehendak tuhan : bagai dalam film kartun/ tubuhku diberi peran lucu/ atau tragis dan konyol/ lalu bagai anak wayang digerak-gerakan/ untuk membuat orang-orang/ merasa asyik dan tertawa…(Sajak Kartun)
Humanisme, seperti saya katakan bahwa AYH menawarkan dimensi religiusitas dalam sajak-sajaknya, yang tidak melulu asyik-mansuk dalam percintaan dan dzikir pada sang pencipta, tetapi dengan santun menyindir kondisi social dan politik yang amoral-abnormal, juga keberpihakan pada kaum du’afa yang tersingkir dan terlupakan. Dan begitulah posisi puisi atau sastra dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, sebagaimana dikatakan Jhon F Kennedy, “apabila politik bengkok maka puisilah yang meluruskannya.” Tidak berlebihan memang, penyair dalam kondisi apapun musti tetap berdiri kukuh baik dalam keadaan rusuh maupun dalam keadaan damai, dalam keadaan negri stabil atau tidak stabil, puisi selalu menemukan ruangnya. Dalam kondisi ketidak adilan bersi-maharajalela puisi akan berdiri paling depan menentang penguasa diktatur, juga sebaliknya dalam kondisi negri subur makmur loh-jinawi, puisi akan terus berdendang menyuarakan kondisi batin zamannya, seperti apa yang dikatakan Acep Zamzam Noor, Kiai Puisi dari Cipasung.
Demikian sikap humanisme AYH dalam mengkritisi kondisi social-politik sebagaimana tercermin dalam sajaknya : aku cukup dengan engkau saja/ walau orang-orang itu/ mencari kesenangan dalam diskotik-diskotik/ panti-panti pijat, hotel dan pelacuran/ aku cukup di rumahmu saja/ dalam nikmat zikir dan sujud jiwa// bukan lantaran takut aids atau rajasinga/ jika kujauhi pelacur dan sauna/ tapi memang cukup bagiku/ bahagia dalam cintamu saja// aku cukup dengan engkau saja/ walau kursi dan mobil dinas menjauhiku/ walau dasi dan gaji besar berpaling dariku/ walau ormas dan orpol mencibir padaku/ aku cukup didekatmu saja, bahagia/ dalam nikmat zikir dan sujud jiwa. (Aku Cukup Dengan Engkau Saja). Sajak ini memotret realitas politik, birokrasi dan kekuasaan yang memang bokbrok dan amoral. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana jabatan itu diperjual belikan, sogok-menyogok, suap-menyuap dan ini tejadi di berbagai tingkatan birokrasi dari pusat sampai ke daerah. Sehingga yang sesungguhnya terjadi adalah kompromi, konspirasi, bersekutu antara sesama maling, bargaining politik dan lembaga-lembaga Negara disesaki mafia. Tentu puisi tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan seorang idealisme yang memegang moral dan amanah rakyat harus tersingkir merelakan kursi dan mobil dinas diambil alih. Walaupun demikian puisi akan terus hidup menyuarakan kebenaran, mengirim pesan moral bagi generasi yang sehat dan beradab.
Tuhan aku berlindung padamu/ walau engkau makin dilupa/ dan disepelekan pemimpin-pemimpinku/ aku berlindung padamu/ walau dimana-mana engkau digusur/ diganti cukong dan pejabat tinggi/ yang menganggap kata-katanya/ lebih tuhan daripada engkau/ aku berlindung padamu// aku berlindung padamu/ walau di pinggir-pinggir jalan/ engkau diejek panti-panti pijat/ walau dikantor-kantor/ kursi direktur menggantikanmu/ walau dimana-mana/ kekuasaan menjadi tuhan baru/ aku berlindung padamu// tuhan aku berlindung padamu/ sebab hanya engkau/ tuhan yang sejatinya tuhan/ kekuasaan yang sebenarnya kekuasaan/ aku berlindung padamu. (Tuhan, Aku Berlindung Padamu). Puisi ini cukup relevan diabad demokrasi saat ini, dimana orang-orang berebut ingin menjadi orang nomor satu, berebut menjadi Bupati atau Wali Kota, menjadi Gubernur dan berebut ingin menjadi presiden. Kekuasaan menjadi lahan aman untuk menyelamatkan hidup dan masa depan, dan kekuasaan sudah menjadi berhala disembah melebihi tuhan. Ditengah kesuntukan ini yang lebih bijak memang mengadu kepada tuhan disaat kehidupan sudah tidak mendengar lagi.
Padahal ketimpangan sejatinya terus terjadi, jurang perbedaan itu semakin menganga, kesulitan tidak pernah mendapat solusinya bagi rakyat. Kemiskinan terus bertambah angkanya tetapi jalanan terus dipadati mobil-mobil mewah, ekonomi blingsatan dan rakyat miiskin berdesakan antri sembako tetapi di supermarket, di mall-mall raksasa orang-orang khusu memilih barang mewah. Sebenarnya apa yang terjadi betapa kontrasnya antara kaum kaya dengan kaum du’afa dan AYH memotretnya cukup sederhana : sepotong roti/ sebutir telur/ sebatang garpu/ sebilah pisau/ gemetar di atas meja/ ketika di depan pintu/ seorang gelandangan/ sambil menelan ludah/ lapar menatapnya// sepotong roti/ dan sebutir telur/ menitikan air mata/ ketika seorang/ konglomerat/ membuka mulut/ menyantapnya. (Sajak Sepotong Roti). Siapa yang bisa memberantas kemiskinan? Padahal sudah enam kali berganti presiden, ada yang selesai kekuasaannya, ada juga yang setengah selesai dan ada juga yang nambah kekuasaannya, tetapi harapan perubahan dan janji-janji itu tidak pernah terbukti. Apa sebenarnya yang sesungguhnya terjadi? Padahal tiap tahun universitas-universitas melahirkan ribuan sarjana, sekolah-sekolah meluluskan ratusan ribu siswa didiknya tetapi pengangguran berdesakan dimana-mana. Memang tidak bijak untuk saling menyalahkan tetapi bukan berarti kemanusiaan terus terbunuh dan tidak bisa dihentikan, suara lirih ini cukup untuk memelihara kemanusiaan yang perlahan terkikis : memandang segelas susu di meja/ tiba-tiba terbayang wajah kelaparan/ saudara-saudariku diretakan bencana/ dan berjuta anak sejarah/ yang terkapar tinggal kerangka// aku jadi tak tega meneguk susu itu/ karena tiap kuangkat gelasnya/ terdengar jerit tangis jasad-jasad luka/ di kamp-kamp kotor daerah sengketa/ jerit lapar berjuta anak kehidupan/ yang berserakan di mana-mana// segelas susu di atas meja/ adalah sari darah para pekerja/ endapan derita petani-petani desa/ sari air mata gelandangan/ darah korban perang dan bencana// mereguk susu hangat tiap pagi/ bisakah kau lupakan/ derita saudara-saudarimu sendiri?. (Sajak Segelas Susu).
Humanisme-sufistik inilah yang dicontohkan Muhammad Rosulullah, dia selalu mengganjal perutnya dengan batu, lebih baik memberikan sekerat roti yang menjadi haknya dari pada perutnya kenyang tetapi ummatnya menahan lapar. Rosulullah sudah terbiasa berteriak-teriak memanggil tetangga dekat rumahnya kalau mau makan, sehingga dia bersabda apabila wangi sayur pasakan itu terscium tetangganya maka masakan itu harus terbagi sampai orang terakhir yang menciumnya. Dan sikap ini turun temurun hingga para sahabat dan para pemimpin Islam berikutnya, walaupun keadaan itu seperti dalam dongeng karena memang cukup sulit saat ini mencari tauladan kepemimpinan seperti rosulullah dan para sahabat, kalau memang disebut tidak ada.
Puisi dan puasa, dua prase yang bukan saja hampir berdekatan tetapi memiliki esensi yang sama yaitu memelihara kemanusiaan. Mengapa harus berpuasa? Mengapa ada puisi? Dan jawaban itu akan terbentang sepanjang sejarah peradaban manusia, melibatkan berbagai macam teori dan melahirkan ranah pemikiran baru sesuai dengan zamannya. Puasa bukan hal yang baru, puasa sudah hadir sejak zaman para nabi ketika agama-agama samawi diturunkan ke bumi, yang pada akhirnya mengalami modifikasi sesuai aturan yang dibawa oleh para rasul.
Puisi dan puasa sama-sama mengajarkan diri untuk menahan diri dari godaan dunia. Puasa secara syari’ah adalah menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami-istri sejak terbit pajar dan tenggelam matahari. Puasa yang layaknya secara umum dilakukan masyarakat muslim di seluruh dunia, walaupun sangat sedikit yang memaknai dan menjalankan puasa secara hakikat Apa arti yang sesungguhnya, puasa relevansinya dengan perubahan seorang diri dan sebuah bangsa, 64 tahun Indonesia merdeka, hampir 16 abad Islam hidup di bumi, berarti 64 kali/tahun Republik ini melewatkan puasa. Puasa yang seyogyanya adalah lahan strategis untuk meng-up grade, merebus jiwa, mengalirkan Nuur Illahi kedalam kegelapan hati, bukan saja mendapat kebahagiaan diakhirat kelak tetapi dapat dibuktikan di dunia ini. Puasa, kini terkesan hanya tuntutan rutinitas yang dicampur oleh budaya konsumtif, dan memberi suntikan nutrisi bagi tumbuh kembangnya kapitalisme. Setelah selesai masa puasa yang korup bertambah korup lagi, yang serakah semakin bertambah keserakahannya, kemaksiatan tabirnya dibuka lagi, masjid-masjid lengang kembali, suara adzan maghrib yang selalu ditunggu kedatangannya kini benar-benar terlupakan. Inilah esensi puisi dan puasa, puisi ditangan AYH tak ubahnya seperti puasa, terus bertahan dari godaan silaunya kekuasaan, mewahnya mobil dinas, merelakan kursi jabatan diambil orang lain. Terus mengolah diri menyuci jiwa sebagai seorang sufi yang lebih mencintai tuhan dari pada memilih nikmatnya tipu daya dunia.
Aku cukup dengan engkau saja
Dalam nikmat zikir dan sujud jiwa
Aku cukup bersamamu saja
(Aku Cukup Dengan Engkau Saja)
Inilah dimensi religiusitas AYH dalam sajak-sajaknya “Sembahyang Rumputan,” semoga pembahasan yang terbatas ini membuka celah cahaya agar tujuan puasa itu tergapai yaitu menciptakan insan bertakwa yang berbahagia, insyaAllah!!.

Swiss Van Java, 27 Agustus 2009 M/ 6 Ramadhan 1430 H

Sastra Posmo Romantic

Puisi “Posmo Romantik” dari 7 Rahim Perempuan
Heni Hendrayani, Nona Muchtar, Susy Ayu, Dewi Maharani, Ramayani Riance, Kwek Li NA, dan Nur Jehan

Tak ada bilangan yang mampu menilai betapa aku mencintaimu.
Jika kau masih ragu
Ajarkan aku cara meyakinkanmu

(Aku Mencintaimu ; Nur Jehan)

Puisi “Posmo Romantik” istilah ini saya buat tanpa dasar-dasar teori sastra yang sudah ada, melainkan hanya istilah yang sengaja dibuat untuk menyebut beberapa perempuan yang luar biasa, menjadi bentuk apresiasi saya terhadap ibu-ibu nyentrik ini, yang secara tidak sengaja telah membentuk kelompoknya sendiri sebagai ibu-ibu rumah tangga yang sehari-harinya tak terpisahkan dengan puisi. Meskipun kita tahu mereka sangat sibuk mengurusi rumah tangganya, dapurnya, anaknya, juga kinerjanya yang harus selalu meningkatkan pelayanannya pada suami, tetapi mereka masih sempat menulis puisi, saling berceloteh dengan kata-kata dalam bentuk puisi, diucapkan dengan lugas, ringan, sederhana. Dalam tema yang memang tidak jauh dari pergumulannya dengan keperempuannya dan perannya sebagai istri yang bergulat dengan persoalan rumah tangga.
Beruntunglah para suami yang memiliki istri-istri yang puitis-puitis itu, saya kira mereka tidak akan terjebak dalam KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) hehe…karena memang aspirasi mereka tersalurkan dengan tepat, tidak akan ada piring yang melayang atau gelas-gelas yang pecah, ketika mereka protes pun akan disampaikan dengan indah, santun dan romantic seperti yang dilakukan perempuan yang satu ini;

Istri Penyair

toh akhirnya aku juga yang merawat dirimu ketika kau sakit
Mana si ganjen yang kau bilang paling mawar dalam hidupmu? Huhhh

lamunan sungguh memalukan, menguap seperti halimun.
Dan kau kini menggigil digigit hantu malam

ah, kalau bukan cinta, kalau bukan kasih sayang yang membara di dada,
ingin kubakar kau di atas ranjang dengan api yang menyala dalam darahku

(2009, Heni Hendrayani)

Disini saya menemukan kemarahan yang erotis, protes yang romantic, dan dendam yang santun. Teh Heni Hendrayani memang istri penyair yang musti jadi tauladan bagi istri penyair yang lainnya, sebagaimana usulan kang Godi Suwarna, agar dia membentuk persatuan istri penyair. Kang Soni Farid Maulana bukan saja sukses menjadi penyair tetapi dia juga sukses mengkader istrinya menjadi penyair yang membawa corak dan karakter baru, memuaskan seperti menu makan malam. Kita tahu bahwa penyair terkadang maha gombal begitu juga Soni FM (menurut gossip dan sebuah sumber) sehingga pantas saja, teh Heni juga perempuan yang sudah terbiasa terbakar api cemburu tapi dia beruntung kata-kata bisa menyelamatkannya dari pertengkaran yang tidak manusiawi (ini hanya perkiraan penulis) bahkan kemarahannya itu menjadi energi dan perekat untuk menyegarkan komunikasi, maka puisilah yang sanggup menjembataninya. Masih banyak lagi sajak-sajak teh Heni yang menarik dan actual tapi saya hanya mencantumkan satu saja, perlu ruang yang lain untuk membahasnya. Bisa dilihat dan dinikmati dalam notenya di facebook.
Untuk sementara saya hanya mencantumkan 7 penulis, tentu masih banyak lagi para ibu-ibu yang lainnya dengan potensi yang sama luar biasanya. Hanya keterbatasan saya untuk mengamati, membaca secara instens satu persatu yang kebetulan ibu-ibu yang satu ini cukup eksis dan produktif, bahkan setiap waktu setiap detik harus membaca update-annya. Ada tante Muchtar atau Nona Muchtar yang super produktif sehingga saya kewalahan juga, dipaksa untuk terus membaca kiriman puisi-puisinya.

TENTANG KITA

Saat gelap menyatukan senja pada malam, kuingat hanya sepenggal kata yang pernah kau tulis, ini rindu kita..
Namun sunyi terbentang sejauh jauhnya semesta diantara hati telah kau beri.
Tahukah engkau bila aku rindu suaramu dan tawa kita?

BBP, 22/08/2009 (Nona Muchtar)

Sebagai perempuan modern ditengah heroiknya semangat gender, semangat berdikari, berkarir, membangun kemandirian dan membangun kebebasan berekspresi tentu tante Nona mempunyai kegelisahaan sebagaimana Ibu-ibu dan perempuan kebanyakan yang lainnya. Saya melihat emansipasi wanita, gerakan gender akan sinergis dan berjalan secara efektif seandainya tidak melanggar sunnatullah atau qodratnya. Maksud saya bahwa sepasang makhluk yang berlabel perempuan dan laki-laki keduanya saling kebergantungan sebagai energi Yin danYang. Setiap individu akan mencari ruang sosialisasinya.

TAHUKAH KAU

aku mencintaimu
dan rindu ini slalu hanya untukmu
meski kini kau menjauh

BBP, 21/08/2009, Nona Muchtar

Rindu inikah yang menjadikan sepi, kerna memang kita tidak bisa hidup sendiri, kalau pun ada itu hanya keterpaksaan. Saya mendapatkan kesimpulan ini pada puisi Susy Ayu, dia emang lihai, kata-katanya artistic ;

wajahnya yang merapat bikin ku tersadar
bahwa dia bukan Hercules atau Old Sutherhand
dia laki laki yang muncul dari rimbunan getir
dengan tubuh dikerumuni sisa jelaga yang berhasil ditebas
ujung jemarinya mengeriput nyaris beku
kemudian menyambangi lukaku yang kuyakin sama kelu

dia hanya laki laki pejalan yang letih mengembara
mencari tempat menetap dengan cinta dari jiwa merapuh
mengetuk pintu yang berulang kali ku tutup
lalu mampir di rahimku
aku memahami
dia menginginkan seorang bayi

(awal itu, sekian waktu yg lampau)
(Menetap ; Susy Ayu, 15-08-09)

Jelaga, sebuah jejak waktu yang lekat dalam ingatan. Tante Susy selalu menulis dengan sepenuh hati, saya merasakan energi itu mengalir dalam darah pembaca, yang datang dari hati akan sampai ke hati (menurut sebuah teori). Saya harus minta maaf pada tante yang satu ini, karena saya tak sempat lagi mendengarkan siaran RRI yang mengupas soal sastra dan Susy Ayu terlibat didalamnya.
Saya menemukan ruang-ruang sunyi yang seksi dan erotis, yang disuguhkan dalam puisi yang ditulis dengan cerdas, bikin gemas dan darah bujanganku terbakar kilatan petir atau sambaran listrik, ah puisimu ini membuat saya menggigit lidah ;

ketika kita usai
kekosongan di telapak tanganku masih terasa penuh
serupa dirimu
pada rambutmu yang sempat kujambak
pada dadamu yang kusinggahi
pada taman mu yang buas namun indah
sebelum kedua tangan ini bersemubunyi di punggung lehermu

(Susy Ayu; Usai Bercinta 170809)

Begitukah perempuan memaknai pengalaman spiritual, bergumul dalam rindu dan cemburu, keduanya memang yang menjadikan mereka hidup, dalam sepi sekalipun.

Maaf, aku sedang cemburu ...

di antara panas khatulistiwa
dan asap anak krakatau yang makin menggelora

ada riak
menyesak
menjadi ombak
bumiku bergejolak

kuketuk dinding hatiku yang bergemuruh
terdengar suara lirih terhimpit perih

** maaf, aku sedang cemburu ...
spore,270709 ** DM **

Dewi Maharani, tante paling keren yang satu ini bisa menulis tentang apa saja, dan saya akan mengulas puisinya. ‘mb Wi terkadang natural juga liar, tetapi sebagai perempuan, saya menemukan ruang sunyi yang selalu minta diisikan. Bagaimanapun puisi adalah suara bathin yang tidak bisa dibohongi, kalau bukan suara bathin atau geliat jiwa, saya percaya bahwa itu bukan puisi tapi sekedar kata-kata yang terasing dibelantara bumi yang gersang, tidak ada oasis, harapan atau cahaya. ‘mb Wi menulis dalam berbagai tema dan saya hanya mengambil sisi ke perempuan-nya.

LONELY

Sepi ini beraroma tubuhmu, dengus nafasmu, gelitik nakal jemarimu, menyatu bagai candu

Aku mendamba, aku merindu, aku menagih, serpihan kasihmu yang tercecer di antara temaram bintang dan pucat wajah rembulan ...
Semenjak langit mula memerah, hingga bertukar kelabu resah, siksa cintamu ikhlas kukunyah

Bahkan saat sebilah pisau kau titipkan di tepi hatiku, dengan pasrah kunikmati sayat demi sayat yang mulai melumpuhkan hasrat, nyaris sekarat lalu memaksaku untuk tetap di sini, menunggu dan terus menunggu hingga menjelang pagi

Sepi ini, sungguh bagai candu di setiap penghujung malamku ....
spore, 090809
** DM **

Sebilah pisau, apa artinya? Bukan percintaan yang masokis, melainkan suasana kom-pleksitas yang harmoni. Ambigu, naratif, mungkin surealis. Rindu, cemburu, sepi seperti candu. Dan beruntung puisi bisa menjembatani jiwa, nafas yang sering meminta kebebasan.
Perempuan secara histori diciptakan bukan sebagai object, melainkan parner, teman, bukan dieksploitasi sebagai object. Dia merupakan penyempurna kehidupan ini, walaupun fakta sejarah kelam memang merupakan realitas pahit yang harus disterilkan. Perempuan selalu ditinggalkan dan selalu menjadi korban, tapi tak sedikit juga kaum adam yang dikhianati, artinya yang dibutuhkan bukan apologia dan pembenaran-pembenaran masing-masing. Paradigma cara pandang kedua makhluk ini yang harus dirubah, keduanya punya proporsinyaa masing-masing, hanya suara lirih perempuan yang lebih nyaring terdengar ;

Kenapa hujan tiba-tiba turun ke bumi
Menyuburkan tunas rasa di hati ?
Kenapa ada pertemuan
Jika akhirnya aku menuai kesedihan

Kenapa kau tiba-tiba hadir
Dengan sekuntum senyum
Beserta sekuncup semangat
Disaat kurasakan gersangnya kehidupan

Aku tahu...kau seorang pengembara
Hanya berteduh sebentar di beranda tuaku
Lalu akan melanjutkan perjalanan tanpa pernah kutahu kemana ?

Namun rasa telah melekat dalam dada ini
Cinta telah merebes ke seluruh nadi
Saat kutahu, kau mesti pergi
Mulutku terkunci
Hanya bisa menatapmu, berlalu dengan lunglai

Aku mesti menggulung rindu ini, dalam kain waktu
Rasa ini tak akan kubiarkan lagi memasungku
Pelan-pelan, kan' kuhapus namamu dari memori kehidupanku
Kita dipertemukan bukan untuk menjadi satu
Jalanku dan jalanmu tak searah
Di persimpangan ini, kita mesti berpisah.

(Taiwan, 310809 Kau Hanya Berteduh; Kwek LI NA)

Kwek LI NA, saya tidak tahu banyak biografinya. Saya hanya tahu beberapa puisinya yang sempat saya baca. Li NA sangat produktif, sebagai migrant kondisi ini memang mendukung. Luapan emosi, suasana hati, keterasingan dan rasa rindu yang jauh, memang puisilah yang bisa mewadahi luapan ini, meskipun bukan satu-satunya jalan sebagai solusi. Pengalaman ditinggalkan baik secara pisik mapupun secara bathin akan membekas dalam ingatan juga dalam hati.

DI PUCUK RASA

Di ujung senja
Aku masih setia menunggumu
Hingga untuk kesekian kali aku tahu, mesti larut dalam kecewa
Malam telah tinggi, angin pun sudah tak sanggup menghadirkanmu untukku

………………………………………..
Taiwan, 05-08-09

Sikap yang bijak, kesetiaan yang murni. Tidak tahu apakah kesabaran itu akan lulus melewatkan setiap ujian. Tak ada yang bisa meramalkan semua itu, dan puisi telah mencatatnya, sebagai arsip yang suatu waktu membuka ingatan pada kenangan.
Setiap orang punya cara tersendiri untuk membunuh sepi, Ramayani Riance berhasil menjinakan rindu-sepinya dalam puisi yang anggun. Membuat sebuah resultan artistic dalam landscape pemandangan yang indah, aku melihat angsa berenang dengan anggun/ jenjang lehernya begitu pasti menjawab sunyi/ senja semakin lengang/ ia pun menepi...(Lengang Senja).
Saya tidak sempat membaca puisi Ramayani yang terbaru, mungkin dia sibuk atau lupa punya janji mau mengirimkan puisi-puisi terbarunya kepada saya, hingga deadline tulisan ini selesai tak jua datang. Mungkin lain kalli ya Tante dikirimin...tapi beberapa sajak yang berhasil saya curi dari blognya, sudah cukup untuk mewakili ekspresi tulisannya.
Mempelajari Rupamu
aku melihat sepotong wajah menyapaku dalam angan
aku melihat matanya menyelinap dalam kepalaku
aku menedengar sebait puisi yang kau musikalisasikan di telingaku
aku membaca kalimat kalimat di wajahmu
dan
aku gambarkan kau dalam rupa yang kupadukan dalam rasa yang panjang
apakah kau hari untukku
atau air mata yang kan menjadi embun dalam kelam
apakah benar terkadang matahari tak setia.
Padang, 2008
Kalau kelapa ia kelapa yang sudah matang, sudah menghasilkan santan, ia bukan sembarang ibu-ibu, saya menemukan kematangan dalam puisinya, mungkin saya tidak cukup bekal untuk membedahnya, perlu penambahan ilmu dan referensi.

Dan yang terakhir adalah Puan Melayu Datin Muda Nurjehan Djamaludin, Ibu muda yang satu ini sangat kreatif, Nur Jehan berbakat menjadi seorang penyair besar. Mengapa? Jehan bisa bicara yang sederhana juga yang rumit seperti kerayaan alam ini (makrokosmos) yang disesuaikan dengan peristiwa sehari-hari. Tapi saya hanya bisa membahas puisi Jehan yang pendeknya saja, seperti :
Derita
Lentera dalam ruang tak berjiwa,
Mengembara ke lapis langit, ke inti bumi
Bersuara tanpa suara…suara
Puisi pendek mempunyai nilai estetika tersendiri, sehingga kalau dipaksakan diperpanjang atau ditambah baitnya akan merubah citra-rasa dan makna terdalam yang dikandungnya. Biasanya terlahir begitu saja melintas sangat cepat, seperti kilat sehingga bila sinyalnya kurang kuat akan senyap begitu saja. Lentera, mengembara, bersuara, langit dan bumi. Prase yang mempunyai kekuatan ungkapan makna, biasanya mengisaratkan kesedihan terdalam atau keinginan yang utopis.
Fatamorgana

layang-layang putus sudah
menggantang asap di keranda tak beratap

Tabik
Dasyat!! Tapi saya tahu pencapaian estetika Jehan yang sesungguhnya bukan disini, melainkan dalam puisi sederhana yang naratif dan erat kaitannya dengan metafisis dan filosofi social yang melingkupinya, insyaAllah.

Akhirnya saya harus minta maaf yang sedalam-dalamnya kepada Ibu-ibu yang kreatif, cerdas dan cantik-cantik ini; Heni Hendrayani, Nona Muchtar, Susy Ayu, Dewi Maharani, Ramayani Riance, Kwek Li NA, dan Nur Jehan atas segala keterbatasan dan kekurangan saya terutama pengenalan saya baik data puisi maupun pengenalan sosok personal setiap penulis.
Dengan segala keterbatasan pengetahuan saya soal puisi, saya mencoba menarik garis bahwa mereka secara tidak langsung telah membentuk genre baru yaitu Puisi “Posmo-Romatic,” wajah puisi yang semula terkesan angker ditangan mereka menjadi ringan, hidup dan komunikatif. Saya berharap genre ini bisa menjembati sastra Pop dengan sastra berat, jelimet yang dibatasi tetek-bengek aturan.
Inilah suara perempuan yang lirih, aku mendengarnya seperti orchestra dalam sebuah konser dalam ruangan yang khidmat. Wallahu’alam bishowab!!

Swiss Van Java, September 2009