Selasa, 29 September 2009

Sastra Posmo Romantic

Puisi “Posmo Romantik” dari 7 Rahim Perempuan
Heni Hendrayani, Nona Muchtar, Susy Ayu, Dewi Maharani, Ramayani Riance, Kwek Li NA, dan Nur Jehan

Tak ada bilangan yang mampu menilai betapa aku mencintaimu.
Jika kau masih ragu
Ajarkan aku cara meyakinkanmu

(Aku Mencintaimu ; Nur Jehan)

Puisi “Posmo Romantik” istilah ini saya buat tanpa dasar-dasar teori sastra yang sudah ada, melainkan hanya istilah yang sengaja dibuat untuk menyebut beberapa perempuan yang luar biasa, menjadi bentuk apresiasi saya terhadap ibu-ibu nyentrik ini, yang secara tidak sengaja telah membentuk kelompoknya sendiri sebagai ibu-ibu rumah tangga yang sehari-harinya tak terpisahkan dengan puisi. Meskipun kita tahu mereka sangat sibuk mengurusi rumah tangganya, dapurnya, anaknya, juga kinerjanya yang harus selalu meningkatkan pelayanannya pada suami, tetapi mereka masih sempat menulis puisi, saling berceloteh dengan kata-kata dalam bentuk puisi, diucapkan dengan lugas, ringan, sederhana. Dalam tema yang memang tidak jauh dari pergumulannya dengan keperempuannya dan perannya sebagai istri yang bergulat dengan persoalan rumah tangga.
Beruntunglah para suami yang memiliki istri-istri yang puitis-puitis itu, saya kira mereka tidak akan terjebak dalam KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) hehe…karena memang aspirasi mereka tersalurkan dengan tepat, tidak akan ada piring yang melayang atau gelas-gelas yang pecah, ketika mereka protes pun akan disampaikan dengan indah, santun dan romantic seperti yang dilakukan perempuan yang satu ini;

Istri Penyair

toh akhirnya aku juga yang merawat dirimu ketika kau sakit
Mana si ganjen yang kau bilang paling mawar dalam hidupmu? Huhhh

lamunan sungguh memalukan, menguap seperti halimun.
Dan kau kini menggigil digigit hantu malam

ah, kalau bukan cinta, kalau bukan kasih sayang yang membara di dada,
ingin kubakar kau di atas ranjang dengan api yang menyala dalam darahku

(2009, Heni Hendrayani)

Disini saya menemukan kemarahan yang erotis, protes yang romantic, dan dendam yang santun. Teh Heni Hendrayani memang istri penyair yang musti jadi tauladan bagi istri penyair yang lainnya, sebagaimana usulan kang Godi Suwarna, agar dia membentuk persatuan istri penyair. Kang Soni Farid Maulana bukan saja sukses menjadi penyair tetapi dia juga sukses mengkader istrinya menjadi penyair yang membawa corak dan karakter baru, memuaskan seperti menu makan malam. Kita tahu bahwa penyair terkadang maha gombal begitu juga Soni FM (menurut gossip dan sebuah sumber) sehingga pantas saja, teh Heni juga perempuan yang sudah terbiasa terbakar api cemburu tapi dia beruntung kata-kata bisa menyelamatkannya dari pertengkaran yang tidak manusiawi (ini hanya perkiraan penulis) bahkan kemarahannya itu menjadi energi dan perekat untuk menyegarkan komunikasi, maka puisilah yang sanggup menjembataninya. Masih banyak lagi sajak-sajak teh Heni yang menarik dan actual tapi saya hanya mencantumkan satu saja, perlu ruang yang lain untuk membahasnya. Bisa dilihat dan dinikmati dalam notenya di facebook.
Untuk sementara saya hanya mencantumkan 7 penulis, tentu masih banyak lagi para ibu-ibu yang lainnya dengan potensi yang sama luar biasanya. Hanya keterbatasan saya untuk mengamati, membaca secara instens satu persatu yang kebetulan ibu-ibu yang satu ini cukup eksis dan produktif, bahkan setiap waktu setiap detik harus membaca update-annya. Ada tante Muchtar atau Nona Muchtar yang super produktif sehingga saya kewalahan juga, dipaksa untuk terus membaca kiriman puisi-puisinya.

TENTANG KITA

Saat gelap menyatukan senja pada malam, kuingat hanya sepenggal kata yang pernah kau tulis, ini rindu kita..
Namun sunyi terbentang sejauh jauhnya semesta diantara hati telah kau beri.
Tahukah engkau bila aku rindu suaramu dan tawa kita?

BBP, 22/08/2009 (Nona Muchtar)

Sebagai perempuan modern ditengah heroiknya semangat gender, semangat berdikari, berkarir, membangun kemandirian dan membangun kebebasan berekspresi tentu tante Nona mempunyai kegelisahaan sebagaimana Ibu-ibu dan perempuan kebanyakan yang lainnya. Saya melihat emansipasi wanita, gerakan gender akan sinergis dan berjalan secara efektif seandainya tidak melanggar sunnatullah atau qodratnya. Maksud saya bahwa sepasang makhluk yang berlabel perempuan dan laki-laki keduanya saling kebergantungan sebagai energi Yin danYang. Setiap individu akan mencari ruang sosialisasinya.

TAHUKAH KAU

aku mencintaimu
dan rindu ini slalu hanya untukmu
meski kini kau menjauh

BBP, 21/08/2009, Nona Muchtar

Rindu inikah yang menjadikan sepi, kerna memang kita tidak bisa hidup sendiri, kalau pun ada itu hanya keterpaksaan. Saya mendapatkan kesimpulan ini pada puisi Susy Ayu, dia emang lihai, kata-katanya artistic ;

wajahnya yang merapat bikin ku tersadar
bahwa dia bukan Hercules atau Old Sutherhand
dia laki laki yang muncul dari rimbunan getir
dengan tubuh dikerumuni sisa jelaga yang berhasil ditebas
ujung jemarinya mengeriput nyaris beku
kemudian menyambangi lukaku yang kuyakin sama kelu

dia hanya laki laki pejalan yang letih mengembara
mencari tempat menetap dengan cinta dari jiwa merapuh
mengetuk pintu yang berulang kali ku tutup
lalu mampir di rahimku
aku memahami
dia menginginkan seorang bayi

(awal itu, sekian waktu yg lampau)
(Menetap ; Susy Ayu, 15-08-09)

Jelaga, sebuah jejak waktu yang lekat dalam ingatan. Tante Susy selalu menulis dengan sepenuh hati, saya merasakan energi itu mengalir dalam darah pembaca, yang datang dari hati akan sampai ke hati (menurut sebuah teori). Saya harus minta maaf pada tante yang satu ini, karena saya tak sempat lagi mendengarkan siaran RRI yang mengupas soal sastra dan Susy Ayu terlibat didalamnya.
Saya menemukan ruang-ruang sunyi yang seksi dan erotis, yang disuguhkan dalam puisi yang ditulis dengan cerdas, bikin gemas dan darah bujanganku terbakar kilatan petir atau sambaran listrik, ah puisimu ini membuat saya menggigit lidah ;

ketika kita usai
kekosongan di telapak tanganku masih terasa penuh
serupa dirimu
pada rambutmu yang sempat kujambak
pada dadamu yang kusinggahi
pada taman mu yang buas namun indah
sebelum kedua tangan ini bersemubunyi di punggung lehermu

(Susy Ayu; Usai Bercinta 170809)

Begitukah perempuan memaknai pengalaman spiritual, bergumul dalam rindu dan cemburu, keduanya memang yang menjadikan mereka hidup, dalam sepi sekalipun.

Maaf, aku sedang cemburu ...

di antara panas khatulistiwa
dan asap anak krakatau yang makin menggelora

ada riak
menyesak
menjadi ombak
bumiku bergejolak

kuketuk dinding hatiku yang bergemuruh
terdengar suara lirih terhimpit perih

** maaf, aku sedang cemburu ...
spore,270709 ** DM **

Dewi Maharani, tante paling keren yang satu ini bisa menulis tentang apa saja, dan saya akan mengulas puisinya. ‘mb Wi terkadang natural juga liar, tetapi sebagai perempuan, saya menemukan ruang sunyi yang selalu minta diisikan. Bagaimanapun puisi adalah suara bathin yang tidak bisa dibohongi, kalau bukan suara bathin atau geliat jiwa, saya percaya bahwa itu bukan puisi tapi sekedar kata-kata yang terasing dibelantara bumi yang gersang, tidak ada oasis, harapan atau cahaya. ‘mb Wi menulis dalam berbagai tema dan saya hanya mengambil sisi ke perempuan-nya.

LONELY

Sepi ini beraroma tubuhmu, dengus nafasmu, gelitik nakal jemarimu, menyatu bagai candu

Aku mendamba, aku merindu, aku menagih, serpihan kasihmu yang tercecer di antara temaram bintang dan pucat wajah rembulan ...
Semenjak langit mula memerah, hingga bertukar kelabu resah, siksa cintamu ikhlas kukunyah

Bahkan saat sebilah pisau kau titipkan di tepi hatiku, dengan pasrah kunikmati sayat demi sayat yang mulai melumpuhkan hasrat, nyaris sekarat lalu memaksaku untuk tetap di sini, menunggu dan terus menunggu hingga menjelang pagi

Sepi ini, sungguh bagai candu di setiap penghujung malamku ....
spore, 090809
** DM **

Sebilah pisau, apa artinya? Bukan percintaan yang masokis, melainkan suasana kom-pleksitas yang harmoni. Ambigu, naratif, mungkin surealis. Rindu, cemburu, sepi seperti candu. Dan beruntung puisi bisa menjembatani jiwa, nafas yang sering meminta kebebasan.
Perempuan secara histori diciptakan bukan sebagai object, melainkan parner, teman, bukan dieksploitasi sebagai object. Dia merupakan penyempurna kehidupan ini, walaupun fakta sejarah kelam memang merupakan realitas pahit yang harus disterilkan. Perempuan selalu ditinggalkan dan selalu menjadi korban, tapi tak sedikit juga kaum adam yang dikhianati, artinya yang dibutuhkan bukan apologia dan pembenaran-pembenaran masing-masing. Paradigma cara pandang kedua makhluk ini yang harus dirubah, keduanya punya proporsinyaa masing-masing, hanya suara lirih perempuan yang lebih nyaring terdengar ;

Kenapa hujan tiba-tiba turun ke bumi
Menyuburkan tunas rasa di hati ?
Kenapa ada pertemuan
Jika akhirnya aku menuai kesedihan

Kenapa kau tiba-tiba hadir
Dengan sekuntum senyum
Beserta sekuncup semangat
Disaat kurasakan gersangnya kehidupan

Aku tahu...kau seorang pengembara
Hanya berteduh sebentar di beranda tuaku
Lalu akan melanjutkan perjalanan tanpa pernah kutahu kemana ?

Namun rasa telah melekat dalam dada ini
Cinta telah merebes ke seluruh nadi
Saat kutahu, kau mesti pergi
Mulutku terkunci
Hanya bisa menatapmu, berlalu dengan lunglai

Aku mesti menggulung rindu ini, dalam kain waktu
Rasa ini tak akan kubiarkan lagi memasungku
Pelan-pelan, kan' kuhapus namamu dari memori kehidupanku
Kita dipertemukan bukan untuk menjadi satu
Jalanku dan jalanmu tak searah
Di persimpangan ini, kita mesti berpisah.

(Taiwan, 310809 Kau Hanya Berteduh; Kwek LI NA)

Kwek LI NA, saya tidak tahu banyak biografinya. Saya hanya tahu beberapa puisinya yang sempat saya baca. Li NA sangat produktif, sebagai migrant kondisi ini memang mendukung. Luapan emosi, suasana hati, keterasingan dan rasa rindu yang jauh, memang puisilah yang bisa mewadahi luapan ini, meskipun bukan satu-satunya jalan sebagai solusi. Pengalaman ditinggalkan baik secara pisik mapupun secara bathin akan membekas dalam ingatan juga dalam hati.

DI PUCUK RASA

Di ujung senja
Aku masih setia menunggumu
Hingga untuk kesekian kali aku tahu, mesti larut dalam kecewa
Malam telah tinggi, angin pun sudah tak sanggup menghadirkanmu untukku

………………………………………..
Taiwan, 05-08-09

Sikap yang bijak, kesetiaan yang murni. Tidak tahu apakah kesabaran itu akan lulus melewatkan setiap ujian. Tak ada yang bisa meramalkan semua itu, dan puisi telah mencatatnya, sebagai arsip yang suatu waktu membuka ingatan pada kenangan.
Setiap orang punya cara tersendiri untuk membunuh sepi, Ramayani Riance berhasil menjinakan rindu-sepinya dalam puisi yang anggun. Membuat sebuah resultan artistic dalam landscape pemandangan yang indah, aku melihat angsa berenang dengan anggun/ jenjang lehernya begitu pasti menjawab sunyi/ senja semakin lengang/ ia pun menepi...(Lengang Senja).
Saya tidak sempat membaca puisi Ramayani yang terbaru, mungkin dia sibuk atau lupa punya janji mau mengirimkan puisi-puisi terbarunya kepada saya, hingga deadline tulisan ini selesai tak jua datang. Mungkin lain kalli ya Tante dikirimin...tapi beberapa sajak yang berhasil saya curi dari blognya, sudah cukup untuk mewakili ekspresi tulisannya.
Mempelajari Rupamu
aku melihat sepotong wajah menyapaku dalam angan
aku melihat matanya menyelinap dalam kepalaku
aku menedengar sebait puisi yang kau musikalisasikan di telingaku
aku membaca kalimat kalimat di wajahmu
dan
aku gambarkan kau dalam rupa yang kupadukan dalam rasa yang panjang
apakah kau hari untukku
atau air mata yang kan menjadi embun dalam kelam
apakah benar terkadang matahari tak setia.
Padang, 2008
Kalau kelapa ia kelapa yang sudah matang, sudah menghasilkan santan, ia bukan sembarang ibu-ibu, saya menemukan kematangan dalam puisinya, mungkin saya tidak cukup bekal untuk membedahnya, perlu penambahan ilmu dan referensi.

Dan yang terakhir adalah Puan Melayu Datin Muda Nurjehan Djamaludin, Ibu muda yang satu ini sangat kreatif, Nur Jehan berbakat menjadi seorang penyair besar. Mengapa? Jehan bisa bicara yang sederhana juga yang rumit seperti kerayaan alam ini (makrokosmos) yang disesuaikan dengan peristiwa sehari-hari. Tapi saya hanya bisa membahas puisi Jehan yang pendeknya saja, seperti :
Derita
Lentera dalam ruang tak berjiwa,
Mengembara ke lapis langit, ke inti bumi
Bersuara tanpa suara…suara
Puisi pendek mempunyai nilai estetika tersendiri, sehingga kalau dipaksakan diperpanjang atau ditambah baitnya akan merubah citra-rasa dan makna terdalam yang dikandungnya. Biasanya terlahir begitu saja melintas sangat cepat, seperti kilat sehingga bila sinyalnya kurang kuat akan senyap begitu saja. Lentera, mengembara, bersuara, langit dan bumi. Prase yang mempunyai kekuatan ungkapan makna, biasanya mengisaratkan kesedihan terdalam atau keinginan yang utopis.
Fatamorgana

layang-layang putus sudah
menggantang asap di keranda tak beratap

Tabik
Dasyat!! Tapi saya tahu pencapaian estetika Jehan yang sesungguhnya bukan disini, melainkan dalam puisi sederhana yang naratif dan erat kaitannya dengan metafisis dan filosofi social yang melingkupinya, insyaAllah.

Akhirnya saya harus minta maaf yang sedalam-dalamnya kepada Ibu-ibu yang kreatif, cerdas dan cantik-cantik ini; Heni Hendrayani, Nona Muchtar, Susy Ayu, Dewi Maharani, Ramayani Riance, Kwek Li NA, dan Nur Jehan atas segala keterbatasan dan kekurangan saya terutama pengenalan saya baik data puisi maupun pengenalan sosok personal setiap penulis.
Dengan segala keterbatasan pengetahuan saya soal puisi, saya mencoba menarik garis bahwa mereka secara tidak langsung telah membentuk genre baru yaitu Puisi “Posmo-Romatic,” wajah puisi yang semula terkesan angker ditangan mereka menjadi ringan, hidup dan komunikatif. Saya berharap genre ini bisa menjembati sastra Pop dengan sastra berat, jelimet yang dibatasi tetek-bengek aturan.
Inilah suara perempuan yang lirih, aku mendengarnya seperti orchestra dalam sebuah konser dalam ruangan yang khidmat. Wallahu’alam bishowab!!

Swiss Van Java, September 2009

0 komentar: