Selasa, 29 September 2009

Sembahyang Rumputan "Amhadun Yosi Herfanda"

MA’RIFAT, HUMANISME, PUISI DAN PUASA
DALAM “SEMBAHYANG RUMPUTAN”
AHMADUN YOSI HERFANDA//...

Puncak karya tertinggi dalam kehidupan ini semuanya bermuara pada tuhan, pada wujud ke manunggal-an gusti, juga dalam puisi terkristalisasi dalam bentuk penyerahan diri pada yang kuasa sanghyang dwiwasa. Sepanjang sejarah kepenyairan memang begitu, kita mendapatkan titik puncak pada diri penyair dalam karya-karyanya yaitu ketika nama tuhan atau sang maha takdir tak bisa lagi terhindar dari eksistensi dirinya.
Saya terkesan dengan antologi puisi “Sembahyang Rumputan,” milik Ahmadun Yosi Herfanda setelah beberapa kali membacanya. Walaupun cukup lama saya sering mendengar namanya disebutkan dan puisi-puisinya sering dibacakan dalam lomba-lomba baca puisi, tentu baru kali ini mendapatkan kumpulan puisi yang utuh dalam bentuk buku dwi bahasa Indonesia-Inggris. Buku ini bukan saja sekedar percikan cahaya dikegelapan atau setitik air dipadang tandus kehidupan, bukan juga suara lirih yang terselip dalam gemuruh pesta demokrasi tetapi bagi saya sembahyang rumputan adalah wahyu yang luput dalam kemegahan liberalisasi ekonomi, krisis global dan krisis moral. Sehingga pada kesempatan ini saya menyimpulkan dan menarik benang makna ma’rifat, humanisme, puisi dan puasa dalam “Sembahyang Rumputan,” karya seorang penyair adiluhung Ahmadun Yosi Herfanda yang tak sempat kujabat tangannya. Saya cukup tersentak setelah menemukan beberapa sajak yang sangat kritis tetapi cukup santun dalam mengkritik kondisi sosio-politik yang bokbrok dan tidak bermoral, ada juga sajak-sajak yang memihak kaum mustad’afin dan mengingat hal terkecil yang memang sering terlupakan. Ini membuktikan bahwa makna religiusitas tidak melulu bergumul dengan nama tuhan tetapi hubungan secara vertical dengan tuhan musti teraktualisasi dalam kehidupan secara horizontal antar sesama makhluk yang diciptakan.
Ma’rifat, istilah yang tidak asing dalam ajaran agama Islam terutama dalam wilayah tasauf. Bagi para ahli sufi ma’rifat merupakan tangga tertinggi sebagai proses memasuki pintu gerbang ketuhanan yang aktualisasinya secara verbal sering diwujudkan dalam bentuk tarian atau kata-kata, sehingga para tokoh sufi erat kaitannya dengan syair-syair yang diungkapkan sebagai ungkapan rasa cinta terhadap tuhannya. Inilah Ahmadun Yosi Herfanda (AYH) setiap orang tahu dia adalah salah satu penyair religius atau sufistik sebagaimana pengakuannya, “sajak SR – (maksudnya sajak rumputan) sebuah sajak yang sebenarnya juga dapat dianggap sebagai ‘tonggak religiusitas’ kepenyairan saya. Sajak tersebut menjadi semacam main set proses kreatif, landasan spiritual sekaligus orientasi kepenyairan saya. Dengan kata lain, sajak SR menjadi semacam manifestasi dari ke-abdillah-an sekaligus ke-khalifahan saya sebagai manusia ciptaan Allah SWT. Sehingga, dengan demikian, kegiatan menulis sajak bagi saya adalah kegiatan dari ibadah kepada Tuhan Semesta Alam.” Dan terbukti pengakuannya itu dijalankannya dengan istiqomah dalam karya-karya yang terlahir dari visi pemikiran-pemikirannya. Seperti tergambar dalam penggalan sajaknya : o, Allah, anugerahi aku kesetiaan/ tanganku menjadi tanganmu/ kakiku menjadi kakimu/ lidahku menjadi lidahmu/ mataku menjadi matamu/ telingaku menjadi telingamu/ hatiku menjadi istanamu: bumi dan langit tak mengandungku tapi hamba berimanku mengandungku.* (*dikutif dari hadist kudsi) dari puisi Doa Pembuka; Sembahyang Rumputan.
Dan betapa banyak-melimpah puisi-puisi AYH sebagai refresentasi ketuhanannya. Tak ubahnya seorang sufi yang tak lelahnya memuji tuhan dan mencari kesejatian diri yang mengarungi cakrawala spiritual dan melayari samudra makna : dengan sayap elang, aku mengembara/ melintas hutan dan laut berkarang/ dengan aji antareja aku amblas bumi/ mencungkil hatinya dan sumber api/ dengan sirip ikan aku menyelam dalam/ menjaring remik-remik kehidupan/ namun selalu padamu/ langkahku kembali tersampai…(Dalam Pengembaraan Kelabu). Inilah makna ma’rifat yang saya maksudkan yaitu kesadaran pada diri bahwa setiap nafas tidak akan terbebas dari kuasa tuhan dan penyair telah menemukan ma’rifatnya dan istiqomah berpegang teguh pada keyakinan dan pengetahuannya. Seperti metaphor-metafor yang sering ditemukan dalam sajak-sajaknya : walau kau tebang aku/ akan tumbuh sebagai rumput baru/ walau kau bakar daun-daunku/ akan bersemi melebihi dulu/ aku rumputan/ kekasih tuhan/ di kota-kota disingkirkan/ alam memeliharaku subur di hutan-hutan…(Sembahyang Rumputan). Juga kesejatian sebagai makhluk dia ungkapkan : di kota-kota padat beton dan baja/ aku jadi penghuni tak berharga/ tapi dengarlah kecipak ikan-ikan/ ketika tubuh kurelakan/ lumat jadi santapan…(Zikir Seekor Cacing). Inilah hakikat makhluk yang penyair insafi dan tak pernah lelah mengingatkan pada kita semua tentang hal kecil yang sering terlupakan, padahal didalamnya tersimpan hakikat kehendak tuhan : bagai dalam film kartun/ tubuhku diberi peran lucu/ atau tragis dan konyol/ lalu bagai anak wayang digerak-gerakan/ untuk membuat orang-orang/ merasa asyik dan tertawa…(Sajak Kartun)
Humanisme, seperti saya katakan bahwa AYH menawarkan dimensi religiusitas dalam sajak-sajaknya, yang tidak melulu asyik-mansuk dalam percintaan dan dzikir pada sang pencipta, tetapi dengan santun menyindir kondisi social dan politik yang amoral-abnormal, juga keberpihakan pada kaum du’afa yang tersingkir dan terlupakan. Dan begitulah posisi puisi atau sastra dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, sebagaimana dikatakan Jhon F Kennedy, “apabila politik bengkok maka puisilah yang meluruskannya.” Tidak berlebihan memang, penyair dalam kondisi apapun musti tetap berdiri kukuh baik dalam keadaan rusuh maupun dalam keadaan damai, dalam keadaan negri stabil atau tidak stabil, puisi selalu menemukan ruangnya. Dalam kondisi ketidak adilan bersi-maharajalela puisi akan berdiri paling depan menentang penguasa diktatur, juga sebaliknya dalam kondisi negri subur makmur loh-jinawi, puisi akan terus berdendang menyuarakan kondisi batin zamannya, seperti apa yang dikatakan Acep Zamzam Noor, Kiai Puisi dari Cipasung.
Demikian sikap humanisme AYH dalam mengkritisi kondisi social-politik sebagaimana tercermin dalam sajaknya : aku cukup dengan engkau saja/ walau orang-orang itu/ mencari kesenangan dalam diskotik-diskotik/ panti-panti pijat, hotel dan pelacuran/ aku cukup di rumahmu saja/ dalam nikmat zikir dan sujud jiwa// bukan lantaran takut aids atau rajasinga/ jika kujauhi pelacur dan sauna/ tapi memang cukup bagiku/ bahagia dalam cintamu saja// aku cukup dengan engkau saja/ walau kursi dan mobil dinas menjauhiku/ walau dasi dan gaji besar berpaling dariku/ walau ormas dan orpol mencibir padaku/ aku cukup didekatmu saja, bahagia/ dalam nikmat zikir dan sujud jiwa. (Aku Cukup Dengan Engkau Saja). Sajak ini memotret realitas politik, birokrasi dan kekuasaan yang memang bokbrok dan amoral. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana jabatan itu diperjual belikan, sogok-menyogok, suap-menyuap dan ini tejadi di berbagai tingkatan birokrasi dari pusat sampai ke daerah. Sehingga yang sesungguhnya terjadi adalah kompromi, konspirasi, bersekutu antara sesama maling, bargaining politik dan lembaga-lembaga Negara disesaki mafia. Tentu puisi tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan seorang idealisme yang memegang moral dan amanah rakyat harus tersingkir merelakan kursi dan mobil dinas diambil alih. Walaupun demikian puisi akan terus hidup menyuarakan kebenaran, mengirim pesan moral bagi generasi yang sehat dan beradab.
Tuhan aku berlindung padamu/ walau engkau makin dilupa/ dan disepelekan pemimpin-pemimpinku/ aku berlindung padamu/ walau dimana-mana engkau digusur/ diganti cukong dan pejabat tinggi/ yang menganggap kata-katanya/ lebih tuhan daripada engkau/ aku berlindung padamu// aku berlindung padamu/ walau di pinggir-pinggir jalan/ engkau diejek panti-panti pijat/ walau dikantor-kantor/ kursi direktur menggantikanmu/ walau dimana-mana/ kekuasaan menjadi tuhan baru/ aku berlindung padamu// tuhan aku berlindung padamu/ sebab hanya engkau/ tuhan yang sejatinya tuhan/ kekuasaan yang sebenarnya kekuasaan/ aku berlindung padamu. (Tuhan, Aku Berlindung Padamu). Puisi ini cukup relevan diabad demokrasi saat ini, dimana orang-orang berebut ingin menjadi orang nomor satu, berebut menjadi Bupati atau Wali Kota, menjadi Gubernur dan berebut ingin menjadi presiden. Kekuasaan menjadi lahan aman untuk menyelamatkan hidup dan masa depan, dan kekuasaan sudah menjadi berhala disembah melebihi tuhan. Ditengah kesuntukan ini yang lebih bijak memang mengadu kepada tuhan disaat kehidupan sudah tidak mendengar lagi.
Padahal ketimpangan sejatinya terus terjadi, jurang perbedaan itu semakin menganga, kesulitan tidak pernah mendapat solusinya bagi rakyat. Kemiskinan terus bertambah angkanya tetapi jalanan terus dipadati mobil-mobil mewah, ekonomi blingsatan dan rakyat miiskin berdesakan antri sembako tetapi di supermarket, di mall-mall raksasa orang-orang khusu memilih barang mewah. Sebenarnya apa yang terjadi betapa kontrasnya antara kaum kaya dengan kaum du’afa dan AYH memotretnya cukup sederhana : sepotong roti/ sebutir telur/ sebatang garpu/ sebilah pisau/ gemetar di atas meja/ ketika di depan pintu/ seorang gelandangan/ sambil menelan ludah/ lapar menatapnya// sepotong roti/ dan sebutir telur/ menitikan air mata/ ketika seorang/ konglomerat/ membuka mulut/ menyantapnya. (Sajak Sepotong Roti). Siapa yang bisa memberantas kemiskinan? Padahal sudah enam kali berganti presiden, ada yang selesai kekuasaannya, ada juga yang setengah selesai dan ada juga yang nambah kekuasaannya, tetapi harapan perubahan dan janji-janji itu tidak pernah terbukti. Apa sebenarnya yang sesungguhnya terjadi? Padahal tiap tahun universitas-universitas melahirkan ribuan sarjana, sekolah-sekolah meluluskan ratusan ribu siswa didiknya tetapi pengangguran berdesakan dimana-mana. Memang tidak bijak untuk saling menyalahkan tetapi bukan berarti kemanusiaan terus terbunuh dan tidak bisa dihentikan, suara lirih ini cukup untuk memelihara kemanusiaan yang perlahan terkikis : memandang segelas susu di meja/ tiba-tiba terbayang wajah kelaparan/ saudara-saudariku diretakan bencana/ dan berjuta anak sejarah/ yang terkapar tinggal kerangka// aku jadi tak tega meneguk susu itu/ karena tiap kuangkat gelasnya/ terdengar jerit tangis jasad-jasad luka/ di kamp-kamp kotor daerah sengketa/ jerit lapar berjuta anak kehidupan/ yang berserakan di mana-mana// segelas susu di atas meja/ adalah sari darah para pekerja/ endapan derita petani-petani desa/ sari air mata gelandangan/ darah korban perang dan bencana// mereguk susu hangat tiap pagi/ bisakah kau lupakan/ derita saudara-saudarimu sendiri?. (Sajak Segelas Susu).
Humanisme-sufistik inilah yang dicontohkan Muhammad Rosulullah, dia selalu mengganjal perutnya dengan batu, lebih baik memberikan sekerat roti yang menjadi haknya dari pada perutnya kenyang tetapi ummatnya menahan lapar. Rosulullah sudah terbiasa berteriak-teriak memanggil tetangga dekat rumahnya kalau mau makan, sehingga dia bersabda apabila wangi sayur pasakan itu terscium tetangganya maka masakan itu harus terbagi sampai orang terakhir yang menciumnya. Dan sikap ini turun temurun hingga para sahabat dan para pemimpin Islam berikutnya, walaupun keadaan itu seperti dalam dongeng karena memang cukup sulit saat ini mencari tauladan kepemimpinan seperti rosulullah dan para sahabat, kalau memang disebut tidak ada.
Puisi dan puasa, dua prase yang bukan saja hampir berdekatan tetapi memiliki esensi yang sama yaitu memelihara kemanusiaan. Mengapa harus berpuasa? Mengapa ada puisi? Dan jawaban itu akan terbentang sepanjang sejarah peradaban manusia, melibatkan berbagai macam teori dan melahirkan ranah pemikiran baru sesuai dengan zamannya. Puasa bukan hal yang baru, puasa sudah hadir sejak zaman para nabi ketika agama-agama samawi diturunkan ke bumi, yang pada akhirnya mengalami modifikasi sesuai aturan yang dibawa oleh para rasul.
Puisi dan puasa sama-sama mengajarkan diri untuk menahan diri dari godaan dunia. Puasa secara syari’ah adalah menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami-istri sejak terbit pajar dan tenggelam matahari. Puasa yang layaknya secara umum dilakukan masyarakat muslim di seluruh dunia, walaupun sangat sedikit yang memaknai dan menjalankan puasa secara hakikat Apa arti yang sesungguhnya, puasa relevansinya dengan perubahan seorang diri dan sebuah bangsa, 64 tahun Indonesia merdeka, hampir 16 abad Islam hidup di bumi, berarti 64 kali/tahun Republik ini melewatkan puasa. Puasa yang seyogyanya adalah lahan strategis untuk meng-up grade, merebus jiwa, mengalirkan Nuur Illahi kedalam kegelapan hati, bukan saja mendapat kebahagiaan diakhirat kelak tetapi dapat dibuktikan di dunia ini. Puasa, kini terkesan hanya tuntutan rutinitas yang dicampur oleh budaya konsumtif, dan memberi suntikan nutrisi bagi tumbuh kembangnya kapitalisme. Setelah selesai masa puasa yang korup bertambah korup lagi, yang serakah semakin bertambah keserakahannya, kemaksiatan tabirnya dibuka lagi, masjid-masjid lengang kembali, suara adzan maghrib yang selalu ditunggu kedatangannya kini benar-benar terlupakan. Inilah esensi puisi dan puasa, puisi ditangan AYH tak ubahnya seperti puasa, terus bertahan dari godaan silaunya kekuasaan, mewahnya mobil dinas, merelakan kursi jabatan diambil orang lain. Terus mengolah diri menyuci jiwa sebagai seorang sufi yang lebih mencintai tuhan dari pada memilih nikmatnya tipu daya dunia.
Aku cukup dengan engkau saja
Dalam nikmat zikir dan sujud jiwa
Aku cukup bersamamu saja
(Aku Cukup Dengan Engkau Saja)
Inilah dimensi religiusitas AYH dalam sajak-sajaknya “Sembahyang Rumputan,” semoga pembahasan yang terbatas ini membuka celah cahaya agar tujuan puasa itu tergapai yaitu menciptakan insan bertakwa yang berbahagia, insyaAllah!!.

Swiss Van Java, 27 Agustus 2009 M/ 6 Ramadhan 1430 H

0 komentar: